Catatan Kecil Tentang Bapak ( Selamat Hari Tani Nasional)

Bapak, begitu aku memanggil sosok lelaki berumur 60an yang duduk di depanku sambil mencabuti beberapa rambut kumisnya yang telah mulai memutih dengan takzimnya.

Ku tatap lagi lelaki di hadapanku ini lekat-lekat,sungguh usia telah memakan sebagian perawakannya yang dulu tegap bagai batu karang. Tubuh bapak mulai membungkuk, langkahnya tak lagi segagah dahulu,rambut-rambut yang memutih, keriput yang mulai muncul tanpa bisa dielakkan serta pendengaran yang mulai kurang awas, sehingga jika berbicara dengannya, nada suara harus sedikit ditinggikan.


Dokpri: Salah satu hasil jerih payah Bapak


Namun ada banyak hal yang tidak berubah dari bapak,salah satunya beliau tetap pergi ke kebunnya saban hari setelah menunaikan shalat subuh dan kembali ke rumah ketika matahari telah naik sepenggalan.

Ya, bapakku adalah seorang petani tulen, petani sejati. Dahulu sebelum memasuki masa pensiunnya sebagai pegawai di kantor kecamatan bapak masih sempat mengurusi kebun-kebunnya di pagi dan sore hari sepulang dari kantor. Pun setelah pensiun, bukannya berleha-leha di rumah, bapak justru semakin asyik dengan tanaman-tanaman yang sebagian besar beliau rawat dari tunas hingga bisa dipanen.

Tidak terbayang bagaimana lelahnya bapak yang setiap pagi dan sore menjenguk ‘anak-anaknya’ di kebun-kebun kami. Menyiangi, membersihkan rumput-rumput liar dan memastikan bahwa tanaman-tanaman itu bisa tumbuh dengan baik. Dan itu beliau lakukan hampir di sepanjang hidupnya. Karena kakekku semasa hidupnya dulu adalah seorang petani. Maka betullah pepatah, buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Darah itu telah mengalir kental di dalam diri dan jiwa bapak.

Bapakku yang terbiasa bercengkrama dengan tanaman-tanaman, wajah yang penuh peluh, pakaian yang selalu cokelat dan penuh tanah, parang panjang yang menjadi teman bapak menuyusuri jalan-jalan kecil menuju lahannya serta topi usang yang menolongnya menghalau terik. Itulah gambaran yang selalu aku saksikan hari demi hari dari lelaki yang kupanggil bapak.

Setelah tahun demi tahun berlalu, tidak ada yang begitu berbeda dari bapakku, semangat dan asanya masih tetap sama.Namun ada kekhawatiran yang kurasakan tiap kali bayangan bapak muncul sekelebatan di depan mataku, siapakah di antara kami anak-anak bapak yang akan menjadi penerus beliau merawat kebun-kebun yang telah beliau jaga sejak dulu, siapakah yang akan menjadi penyelamat bagi tanaman-tanaman itu,akankah mereka akan terlantar tanpa adanya tangan lincah bapak yang menyiangi mereka?

Roda waktu terus bergulir pun dengan hidup, selalu ada perubahan yang akan datang dan tak mampu untuk ditolak. Namun semoga apapun yang terjadi di depan, kami anak-anak bapak masih terus mampu mempertahankan apa yang telah beliau perjuangkan selama ini. Semoga dengan segala keterbatasan yang kami punya, kami tetap bisa menghijaukan lahan-lahan itu sehingga tidak kerontang dan gersang. Semoga...

Lamunanku buyar, ku tatap punggung bapak yang telah bersiap-bersiap pergi dengan menenteng parang panjangnya. Ku ikuti langkahnya yang kian cepat dan menghilang di kelokan depan rumah kami. Ah bapak, bapak memang petani sejati.

Selamat Hari Tani Nasional bapak dan seluruh petani-petani tangguh Indonesia. Saya bangga menjadi anak petani.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman Mengurus SKCK di Luar Domisili KTP

Ketika Wanita Tercinta Memulai #AyoHijrah bersama Bank Muamalat Indonesia

Perempuan Menawan di Tengah Padang Savana