Menjangkau yang Terluar dan Membangun yang Tertinggal ( Sebuah Cerita dari KORINDO dan Daerah 3T )
Negeriku yang luas
Indonesia memiliki luas lebih dari 1.900 juta km2 juga memiliki bentangan alam
yang sangat beragam mulai dari perairan yang mendominasi serta ribuan
pulau-pulau baik besar maupun kecil yang membentang hijau di tengah hamparan
lautan yang biru terbentang dari Sabang sampai Merauke. Begitu luasnya
Indonesia, sampai pemerintah menghadapi beragam tantangan untuk melakukan
pembangunan wilayah-wilayah dari hulu ke hilir sehingga muncullah
ketidaksamarataan dan disparitas dalam berbagai segi kehidupan baik pembangunan infrastruktur maupun ekonomi.
Luasnya wilayah
negeri ini melahirkan wilayah-wilayah yang masuk ke dalam 3T yaitu terdepan,
terluar dan tertinggal yang merujuk kepada kondisi geografis yang sulit bahkan belum
terjangkau dengan kondisi tertinggal secara infrastruktur, ekonomi bahkan
pendidikan. Menurut data yang ada, terdapat sekitar 67 kabupaten yang masuk kategori 3T. Keadaan ini
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah karena pada umumnya daerah-daerah
tersebut adalah kawasan perbatasan yang menjadi teras pertama yang menjadi
penghubung Indonesia dengan Negara-negara tetangga.
Domande, sebuah
sisi yang lain
Sedikit gambaran
tentang daerah 3T di mana saya pernah bertugas selama 1 tahun pada 2016 lalu
yaitu kampung Domande. Kampung ini adalah sebuah kampung lokal yang terletak di
pesisir kabupaten Merauke, Papua.
Seperti kita tahu bahwa Merauke adalah wilayah paling timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Papua Nugini. Jadi bisa dikatakan bahwa kabupaten ini adalah salah satu teras negeri yang keberadaannya akan selalu menarik perhatian.
DokPri: Penampakan alam di sekitar Domande |
Seperti kita tahu bahwa Merauke adalah wilayah paling timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negara Papua Nugini. Jadi bisa dikatakan bahwa kabupaten ini adalah salah satu teras negeri yang keberadaannya akan selalu menarik perhatian.
Domande adalah kampung pesisir yang didiami oleh suku Marind pantai yang merupakan suku asli di daerah ini dan berbaur dengan beberapa pendatang yang telah beranak-pinak sejak beberapa lama. Untuk menjangkau Domande, kita bisa menggunakan jalur darat dengan membelah hutan serta padang savana selama 4 jam dari kota kabupaten.
Warga kampung
Domande tinggal di rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari papan kayu dan
beralaskan tanah. Kondisi rumah-rumah di kampung ini cukup memperihatinkan,
karena sudah ada yang rusak parah bahkan ditakutkan bisa roboh sewaktu-waktu.
Namun ada juga beberapa warga yang cukup beruntung telah tinggal di dalam rumah
permanen yang telah dibangun oleh pemerintah melalui dana kampung yang
disalurkan kepada warga. Di dalam sebuah rumah biasanya terdapat beberapa
keluarga yang tinggal bersama, hal ini karena nilai kekerabatan yang masih
sangat dijunjung tinggi oleh warga kampung lokal.
DokPri: Salah satu rumah warga |
Mata pencaharian
yang pada umumnya digeluti warga adalah berburu, mencari hasil laut, membuat
sagu dan memanfaatkan hasil alam lainnya. Kampung ini dikelilingi oleh
padang-padang savana serta pantai dengan beragam flora khas yang membentengi
wilayah ini di setiap sisinya. Dengan bentangan alam seperti ini, Domande
termasuk kampung yang kaya dengan sumber daya alam, baik dari darat maupun di
lautnya. Ikan, udang, sagu serta hasil alam lain yang menjadi tumpuan warga
untuk kehidupan sehari-hari.
Dokpri: Rawa-rawa |
Jika kondisi alam
sedang bersahabat, mereka akan mendapatkan uang yang lumayan untuk mencukupi
kebutuhan mereka hari itu dari hasil menjaring ikan dan biota laut lainnya.
Namun jika laut sedang tidak tenang, kaum lelaki akan masuk ke dalam hutan
selama beberapa hari dan berburu hewan yang bisa dikonsumsi serta para ibu akan
bahu-membahu membuat sagu yang bisa dijual.
DokPri: Seorang Bapak sedang mencari ikan di rawa |
Domande merupakan
kampung kecil dengan masyarakat yang hidup serba sederhana. Bagaimana tidak
sederhana, listrik di sini hanya bertahan kurang lebih 8 jam sehari itupun jika
matahari bersinar terik karena sumber utama yang digunakan adalah panel surya.
Jika malam telah datang, suasana desa akan hening seperti “malam kudus” kata
warga, hanya sekali-sekali terdengar bunyi mesin genset yang dimiliki oleh warga pendatang yang cukup mampu
membelinya. Di rumah-rumah “bercahaya” inilah biasanya pula warga kampung
berkumpul di malam hari untuk menonton tayangan televisi kesukaan mereka
seperti sinetron remaja atau opera sabun dari India. Gigitan nyamuk yang
membuat kulit gatal tidak dihiraukan oleh mereka yang terus-menerus menatap serius
ke kotak warna-warni itu sampai tengah malam.
Selain kekurangan pasokan listrik, komunikasi
pun menjadi terhambat di dalam desa, hal ini karena sinyal telekomunikasi yang
amat terbatas dan hanya bisa diketemukan di beberapa titik sehingga memperoleh
informasi dari dalam dan keluar kampung juga cukup sulit. Salah satu titik di
mana saya bisa mendapatkan beberapa batang sinyal adalah pagar rumah tetangga.
Caranya cukup sederhana yaitu dengan mengikat ponsel dengan sebuah karet bekas
ban yang akan menjadi penahan agar ponsel tidak bergoyang. Karena sedikit saja
berpindah tempat, sinyal akan hilang dan cukup sulit didapatkan kembali. Jadi
jangan heran ketika pembangunan dan laju pergerakan ekonomi di sini terasa
cukup lambat bahkan cenderung mandek.
DokPri: Berburu Sinyal |
Infrastruktur juga
merupakan sebuah tantangan di kampung ini.
Di sini ada sebuah puskesmas pembantu (pustu) yang kondisinya sangat
sederhana dan peralatan yang belum cukup lengkap namun tetap harus melayani
warga yang datang memeriksakan kesehatannya. Ada pula, sekolah dari TK sampai
SMP dengan bangunannya yang sederhana. Selain itu ada juga 2 rumah ibadah
berupa gereja Katolik dan Protestan yang kondisinya bisa dikatakan jauh dari
kata layak. Serta bangunan-bangunan pendukung lain yang kondisinya tidak begitu
jauh berbeda.
DokPri. Para mama dalam sebuah hajatan |
Namun jika
dibandingkan dengan wilayah 3T yang lain, Domande termasuk “agak” lebih baik
daripada kampung-kampung lain di distrik sebelah seperti Ngguti, Waan atau
Tabonji yang jarak dan letaknya lebih jauh. Di Ngguti misalnya, ketiadaan
guru-guru pengajar dan sekolah-sekolah yang mati suri selama beberapa bulan
bahkan semester adalah hal yang umum ditemukan. Jarak tempuh yang sangat jauh
serta akses ke sana yang hanya bisa melewati hutan serta sulitnya mendapatkan
pasokan bahan makanan membuat beberapa guru jera untuk kembali bertugas di
sana. Jadi tidak mengherankan ketika angka putus sekolah dan buta calistung
(baca, tulis dan hitung) untuk wilayah-wilayah 3T juga lumayan tinggi dan
sangat lumrah ditemui orang-orang dewasa bahkan tua yang tidak mengenal huruf
dan angka.
Jadi bisa
dibayangkan, bagaimana roda kehidupan berjalan di wilayah-wilayah terdepan,
terluar, dan tertinggal di negeri ini. Kehidupan yang serba sulit adalah
pemandangan sehari-hari. Sumber daya alam yang sangat melimpah juga tidak bisa
menjamin kesejahteraan bisa dinikmati oleh warga setempat. Kondisi ini bisa
sesuai dengan pepatah, ” bagaikan tikus
yang mati di dalam lumbung padi”.
DokPri.Seorang murid mnyirami tanaman |
Kesulitan bahkan ketiadaan akses yang
menghubungkan wilayah pedalaman dan wilayah sekitar yang lebih maju jelas
sangat merugikan mereka. Arus informasi yang terputus, pembangunan yang tidak
berjalan, pemasaran hasil alam yang sangat menguras tenaga dan pikiran
menyebabkan kehidupan menjadi semakin susah setiap harinya.
Itulah sedikit
gambaran tentang bagaimana kehidupan sebuah daerah 3T sehari-hari. Padahal sudah
seharusnya, wilayah-wilayah 3T juga mendapatkan perhatian dalam pembangunan
negera. Karena jika mampu dibangun dan dikembangkan dengan baik, daerah-daerah
ini akan ikut menjadi penyumbang devisa negara dari beragam sektor, baik dari
kekayaan alam, manusia, budaya, serta keindahannya.
DokPri. Musamus/ rumah rayap yang hanya ada di daratan Merauke |
Jadi sudah
seharusnya wilayah 3T mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan para stakeholder serta perusahaan-perusahaan
yang peduli akan keberlangsungan pembangunan di wilayah-wilayah tersebut, salah
satunya yaitu Korindo.
Dari Korindo untuk
Indonesia
Korindo telah
beroperasi di Indonesia selama hampir setengah abad dengan visi: “ membangun hubungan yang
harmonis antara kegiatan bisnis perusahaan dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan terkait lainnya, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kemandirian secara terus-menerus”.
Sinergi- Source: Web Korindo |
Perusahaan Korindo yang tergabung dalam KORINDO
grup berkomitmen untuk senantiasa melakukan berbagai pengembangan demi perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, khusunya
partisipasi mereka dalam melaksanakan program CSR ( Corporate Social
Responsibility) yang merupakan bentuk tanggung jawab sosial Korindo kepada
masyarakat Indonesia khususnya di kawasan yang tertinggal untuk untuk membangun perbatasan menjadi terasnya Indonesia.
Program-program CSR yang
selama ini digalakkan oleh Korindo meliputi berbagai ranah kehidupan masyarakat
seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, lingkungan serta infrastruktur. Pada
kenyataannya, di semua sisi inilah kehidupan daerah 3T betul-betul tertinggal
bahkan kadang kala membuat miris kita semua yang tahu betul-betul bagaimana
kesulitan yang dihadapi saudara-saudara sebangsa kita di lapangan.
Contohnya di kabupaten Boven
Digoel yang juga sebgaian besar wilayahnya masuk dalam kawasan 3T, Korindo grup
melalui Korindo Abadi membangun jembatan Kali Totora yang sebelumnya hanya
terbuat dari kayu dan telah mengalami kerusakan di sana-sini sehingga sangat
menghambat aktivitas masyarakat sehari-hari. Jembatan yang diresmikan tahun
lalu ini adalah salah satu hasil penantian panjang masyarakat pedalaman kampung
Prabu, Asiki yang diharapkan dapat menunjang kehidupan mereka serta
meningkatkan laju perekonomian mereka karena sudah adanya jalur transportasi ke
dalam dan keluar kampung.
Selain di Boven Digoel, Korindo grup melalui perusahaan Dongin Prabhawa telah membangun asrama khusus pelajar di kampung Taga epe, Ihalik, Nakias dan Salam epe yang terletak di distrik Ngguti, salah satu distrik 3T di Merauke. Upaya ini adalah salah satu usaha Korindo untuk membantu para pelajar di sana agar tetap terus bisa mengenyam pendidikan karena biasanya jarak sekolah dan tempat tinggal mereka lumayan jauh, sehingga tidak memungkinkan untuk mereka bolak-balik setiap hari. Sehingga keberadaan sebuah asrama adalah hal yang sangat membantu para pelajar tersebut.
Asrama siswa- Sumber: Korindo Web |
Selain di Boven Digoel, Korindo grup melalui perusahaan Dongin Prabhawa telah membangun asrama khusus pelajar di kampung Taga epe, Ihalik, Nakias dan Salam epe yang terletak di distrik Ngguti, salah satu distrik 3T di Merauke. Upaya ini adalah salah satu usaha Korindo untuk membantu para pelajar di sana agar tetap terus bisa mengenyam pendidikan karena biasanya jarak sekolah dan tempat tinggal mereka lumayan jauh, sehingga tidak memungkinkan untuk mereka bolak-balik setiap hari. Sehingga keberadaan sebuah asrama adalah hal yang sangat membantu para pelajar tersebut.
Berbagai usaha yang telah
dilakukan oleh Korindo grup untuk meningkatkan pembangunan di berbagai segi
kehidupan masyarakat, khususnya yang mendiami wilayah 3T adalah upaya untuk
menjangkau mereka-mereka yang selama ini belum mendapatkan akses dan untuk
meningkatkan taraf kehidupan mereka yang selama ini tertinggal ke arah yang
lebih baik. Kerena patut dicermati bahwa daerah-deaerah perbatasan yang masuk
dalam cakupan wilayah 3T adalah wilayah-wilayah yang akan menjadi teras-teras pertama yang akan dilirik
oleh dunia dari Indonesia sehingga pembangunan di wilayah tersebut menjadi
mutlak untuk dilaksanakan secara maksimal.
Hal ini juga membuktikan
komitmen Korindo Grup untuk membangun kehidupan yang harmonis dan makmur bagi
semua para pemangku kepentingan di semua lokasi di mana unit usahanya bekerja
dengan menjangkau wilayah terdepan dan terluar Indonesia yang selama ini
tertinggal.
Korindo telah berusaha untuk terus aktif
memberikan manfaat dan kontribusinya kepada masyarakat seluas-luasnya dan berkomitmen
untuk mengembangkan usahanya di wilayah-wilayah 3T di Indonesia melalui
berbagai pembangunan baik dari segi fasilitas ataupun pembangunan mental
masyarakatnya demi terciptanya perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Sehingga daerah-daerah pedalaman 3T seperti
Domande, Ngguti atau wilayah pelosok lainnya dari Sabang sampai Merauke juga
bisa merasakan menjadi bagian dari
Indonesia yang seutuhnya, memiliki akses informasi yang lancar, kehidupan
ekonomi yang membaik setiap harinya serta menjalani kehidupan yang bahagia di
bawah naungan negara bernama Indonesia.
Senyum Korindo-Sumber: Korindo Web |
It's going to be awkward, but let me fix it. Can we start from the begin again?
BalasHapus