Cerita dari ujung pesisir Domande
Domande, sebuah kampung
yang terletak di pesisir kota rusa. Kampung pesisir yang didiami oleh suku
Marind pantai yang merupakan suku asli di daerah ini dan beberapa pendatang
yang telah beranak-pinak sejak beberapa lama. Setelah menempuh perjalanan
sekitar 4 jam dari pusat kota Merauke, Domande merupakan kampung kecil dengan
hidup masyarakatnya yang serba sederhana namun begitu dari beberapa pembicaraan
yang saya lakukan dengan mereka saya mengetahui betapa mereka telah memiliki
pandangan sendiri tentang kehidupannya sebagai orang pesisir. Dan berbagai
prasangka yang mau tidak mau meningkatkan kewaspadaan saya sebagai pendatang
asing, pendatang yang begitu khawatir akan penerimaan masyarakat kepadanya dan
pendatang yang mungkin belum memiliki kekuatan hati yang cukup untuk menghadapi
berbagai kemungkinan ke depan.
Domande adalah sebuah
kampung sederhana dengan kehidupan masyarakat yang juga sederhana namun begitu
kompleks. Itu tampak dari bangunan rumah-rumah yang terbuat dari papan yang
beralaskan tanah yang tampak begitu rapuh dan mulai lapuk dimakan usia. Dari
cerita yang saya dapatkan dari salah satu tokoh adat Domande, dulunya mereka
tinggal di bibir pantai dengan membuat befak dan hidup sebagai penjaring. Namun
karena adanya tuntutan pemerintah untuk memobilasasi mereka agak ke dalam
kawasan hutan pandan yang berjarak sekitar 1 km dari pantai jadilah tempat yang
mereka diami sekarang. Rumah-rumah warga yang cenderung rapuh dan tua merupakan
bangunan rumah yang pertama kali didirikan di sana.
Di sini masyarakat sudah
bisa merasakan hidup dengan listrik
walaupun masih terbatas. Listrik yang disuplai dari pembangkit bertenaga
surya,sehingga listrik hanya bisa dirasakan oleh warga selama 10-12 jam setiap
harinya. Namun bukankah itu lebih baik daripada beberapa daerah yang belum
tersentuh listrik sama sekali?
Menghabiskan waktu di
Domande itu berarti kita akan berkutat dengan pola tingkah masyarakat Marind.
Sebagian masyarakat di sini belum memiliki pekerjaan tetap. Jadi mata
pencaharian mereka bisa dibilang berdasarkan musim, berdasarkan waktu. Ketika
udang,ikan serta biota laut yang bernilai ekonomis sedang melimpah masyarakat
dari yang tua hingga kanak-kanak akan berbondong-bondong membawa jaring ke laut
dan menghabiskan waktu seharian di sana. Namun ketika musim kemarau tiba,
ketika laut tidak bisa menjadi lahan pencaharian maka mereka akan berjalan ke
rawa-rawa yang mulai mengering untuk menangkap ikan rawa.
Dengan menetap di
Domande kita akan bersentuhan dengan kebudayaan
dan kebiasaan mereka. Budaya yang masih kental dipertahankan oleh para
tetua adat. Budaya Sir, atau memainkan tifa di pesta pernikahan adat misalnya,
atau pesta adat bunuh babi yang pernah dilakukan beberapa waktu yang lalu
sebagai pesta adat 2 tahunan di kampung-kampung lokal. Dan salah satu tradisi
yang juga sangat mendarah daging di sini atau bahkan hampir di seluruh daratan
Papua yaitu tradisi makan pinang. Mengunyah pinang yang telah dicampur dengan
beberapa bahan pelengkap seperti sirih, gambir, kapur dan tembakau adalah hal
yang biasa terlihat di setiap sudut kampung. Dari yang tua sampai kanak-kanak
sudah lekat dengan mengunyah pinang. Pinang menjadi primadona yang dibutuhkan
hampir setiap waktu.
Secara umum, setelah
beberapa lama menetap di sini saya sudah mulai pelan-pelan mengenal kehidupan
di sini. Pola kehidupan masyarakat yang jauh berbeda, budaya dan tatanan sosial
yang juga berbeda. Dan yang paling penting, belajar menjadi minoritas. Ketika
selama ini kita menjadi mayoritas, dengan pergi ke tempat yang berbeda dan
menjadi minoritas, bisakah kita menurunkan ego, merendahkan hati dan berbaur di
tengah segala perbedaan yang ada.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Jejak Anda